Kamis, 06 Desember 2012

koreanlovers: Creative Writing

koreanlovers: Creative Writing: Menulis merupakan hobi yang sangat kubanggakan. Merangkai kata indah menjadi sebuah kalimat, menyusunnya menjadi sebuah paragraf dan melanj...

Creative Writing

Menulis merupakan hobi yang sangat kubanggakan. Merangkai kata indah menjadi sebuah kalimat, menyusunnya menjadi sebuah paragraf dan melanjutkannya menjadi sebuah cerita. Beragam masalah yang tak mampu kuungkapkan secara lisan, kugambarkan melalui tulisan. 

So the readers here is one of my novel that I made, the title is 

      그대만 봐요/Only See You

SINOPSIS


Kekecewaan membawaku berkelana hingga ke negeri orang. Kepergianku hanya untuk menghukumnya. Dia yang telah berbohong padaku. Namun mendengarnya terbaring sakit melawan maut di tanah airku, membuatku hampir gila. Tetapi keinginan kuat untuk kembali harus dipatahkan oleh aturan yang wajib kutaati.
Keputusan untuk tetap tinggal itu, membawa banyak hal baru yang tak terduga olehku. Layaknya memiliki rumah dan keluarga baru. Rumah baruku mempertemukanku dengan impian, harapan, cinta, benci dan kebenaran, kemudian tiga hal dari semua itu harus terenggut saat kedua telapak tanganku sudah menggenggamnya.

Pembaca yang setia sudah membayangkan isi dari Only See You?????
sekarang mari membaca Bab 1 nya



Hana
            Perasaanku bercampur aduk tak jelas. Langkahku pelan mengikuti seorang pria berbaju batik cokelat corak Jogja yang berjalan memasuki gedung megah Bandara International Incheon, Korea Selatan. Pria itu bernama Pak Hasan seorang Staf kedubes RI untuk Korea Selatan. Aku  mengangkat kepala, mataku mengelilingi sekitar, takjub akan kemewahan bandara Incheon.
Artikel yang pernah kubaca menyebutkan bahwa bandara Incheon adalah bandar udara terbesar  dan pernah dinobatkan sebagai bandara terbaik di dunia oleh Airport Council International. Bandar Udara Internasional Incheon adalah terminal utama bagi Korean Air, Asiana Airlines dan Polar Air Cargo.
Kakiku mempercepat langkahnya mengejar ketertinggalanku dari Staf Hasan menuju kantor imigrasi. Ia melakukan pengecekan terlebih dahulu, lalu mempersilahkanku. Ia belum beranjak dari sampingku.

“Alba Paramitha?” tanya petugas imigrasi sembari  sekilas menatap wajahku  untuk mencocokan foto yang berada di paspor. Aku tersenyum dan menjawab “Yes”  

“Do you come for  scholarship?” petugas itu kembali bertanya. “Yes.” jawabku lagi. Petugas imigrasi itu mengangguk, menstempel lembaran pasporku. “Thank you very much!” Ungkapku tulus.
           
           
            Staf Hasan menarik koper besar dari tanganku, kami melanjtkan langkah menuju puluhan orang yang sedang berdesakan sembari memgangi karton besar berisi nama dan Negara, tamu yang mereka tunggu.
            “Oh itu dia!” ucapnya senang. Staf Hasan berlari kecil menghampiri seorang pria, yang lebih tinggi sedikit dariku, pakaiannya lumayan rapi. Pria itu menulis nama lengkap Staf Hasan dan Negara kami.
            “Jeoneun Hasan Wirayuda imnida, Indonesia wasseoyo, bangapseumnida!”[1] Staf Hasan menunduk sedikit, lalu menyalami telapak tangan lawan bicaranya.
            “Ye.. Jeoneun Kang Songeun imnida, jeodo bangapseumnida![2] pria itu juga melakukan hal yang sama, menunduk, tidak lebih tepatnya membungkuk.
            “Kau pasti Alba Paramitha!” tebaknya senang. Aku membungkuk lebih dalam, dibandingkan tundukan Staf Hasan. Ia tersenyum melihatku, uban dan keriput yang terlihat di daerah sekitar matanya menunjukkan, ia sudah sedikit tua.
            “Banyak bertanyalah padanya, dia guru bahasa inggrismu!” jelas Staf Hasan. Aku hanya tersenyum.
            Dua koper berukuran besar dimasukkan Pak Hasan ke dalam bagasi mobil sedan yang dikendarai oleh Kang Seonsengnim[3], sedangkan ransel batik miliku bersamaku di bangku penumpang. Dua pria itu sedang berbincang di depan, entah apa yang sedang mereka bicarakan, aku tidak begitu menyimaknya. Jujur aku tidak begitu menikmati perjalanan pertamaku dari Incheon menuju Seoul.
            Pikiranku melayang, kembali mengingat cerita pilu yang terjadi sebelas  jam lalu di rumahku, Indonesia. Aku hanya menenteng ransel batik memasuki ruang kerja ayahku. Ia duduk di kursi kerjanya dan membelakangiku. Gugup, aku mengangkat wajahku untuk melihat rambutnya yang mulai beruban.
             “Ayah, dengan atau tanpa izinmu, tekatku sudah bulat untuk ke Korea. Maaf ayah, untuk kali ini aku tidak mendengarmu!” di hadapannya, aku berusaha sok tegar.
            “Ayah jaga dirimu baik-baik, aku pasti kembali.!” aku berbalik dengan linangan penuh air mata di kedua pipiku. Putri tunggal yang keras kepala, itulah aku.
₪         ₪         ₪
                       
            Kang Seonsaengnim menghentikan mobil di depan sebuah gedung flat bertingkat sepuluh. Ia menurunkan barang dari bagasi, dan membantuku membawanya pada salah satu lantai flat yang akan kutinggali. Katanya aku akan tinggal bersama seorang mahasiswi Indonesia, seorang calon fashion designer.
            Kang Seonsaengnim memencet bel pintu dengan angka 820 yang terpampang di depannya. Seorang gadis berwajah khas Indonesia dengan kulitnya yang kuning langsat membukakan pintu untuk kami. Gadis itu mempersilahkan kami masuk.
            Kang Seonsaengnim memperkenalkan diriku beserta Staf Hasan. “Halo nama saya Luna, mahasiswi fashion designer tingkat 2!” ucapnya. Aku senang ia berbicara bahasa ibu kami.
            “Kau ingat sekolah yang tadi kutunjukan padamu, itu adalah sekolah yang akan kau tempati belajar, sangat dekat bukan. Hanya butuh 10 menit berjalan!” jelas Kang Seonsaengnim. Ia mengeluarkan seragam dan papan nama juga sebuah handphone dan notebook dari dalam tasnya. “Pergunakan dengan baik!” pintanya.  
            Belum berdiri lama, bahkan duduk di sofa kecil depan TV itu, mereka sudah pamit.                                                                                                                                                           
            Kak Luna menunjuk sebuah kamar dekat kamar mandi. “Itu kamarmu!” Singkatnya.
            “Terima Kasih!” Jawabku.
             Flat ini, tidak terlalu besar. Saat membuka pintu utama, berjalan empat langkah ke depan, di sebelah kiri terdapat dapur dan meja makan beserta tiga kursinya. Di dapur juga terdapat pintu menuju teras kecil untuk menjemur, menghadap ke kanan, ada sebuah meja kecil dengan sofa yang muat untuk tiga orang, di hadapannya ada  televisi berukuran 21 inchi, 2 kamar tidur dan sebuah kamar mandi, tapi yang hebatnya adalah jendela besar di dinding ruang tengah, dari sana aku bisa melihat beberapa tempat menarik kota Seoul.
             “Alba. Namamu Alba kan!” Kak Luna mencoba membenarkan perkataannya.
             “Iya!” singkatku.
            “Meski dari bangsa dan negara yang sama, aku tidak begitu suka berbagi ruangan dengan orang lain!” lanjutnya. Ia bergerak untuk masuk ke kamarnya. “Ada lagi, jangan pernah berani masuk ke kamarku tanpa izin, apa lagi menyentuh barang-barangku!” tegasnya. Kak Luna memasuki kamarnya dan terdengar seperti sedikit membanting pintu saat menutupnya.
            Dadaku sedikit sesak, ingin berjuang di negara orang tapi malah dijajah oleh bangsa sendiri. Lunglai aku membuka pintu kamar yang berbentuk pintu geser,  masuk dan menutupnya pelan. Kutatap lekat kamar baruku. Sebuah tempat tidur no 4, sebuah lemari, dan meja belajar beserta laci-lacinya.
            Aku sangat menyukainya, seluruh perabotan kamar berwarna putih, kepalaku menoleh pada satu-satunya jendela dekat ranjang. Kubaringkan dua koper besar yang berdiri di samping tempat tidur, lalu meletakkan ransel di atasnya. Kubuka koper yang terdekat dan membongkar isinya. Aku mengeluarkan sebuah kotak besar berukuran 50 x 50 cm dan meletakannya di atas lantai.
            Sebuah buku, panjangnya kira-kira 30 cm dan lebarnya 20 cm. Sampul bukunya putih kosong, namun pada lembaran berikutnya ada sebuah lukisan yang menggambarkan suasana tepi pantai dan pemandangan sekitarnya, lembaran selanjutnya gambar bunga krisan, seluruh halaman buku ini berisi lukisan.
            Barang kedua adalah lukisan di atas kertas bergambar A3 yang digulung. Tergamabar apik sebuah gedung yang terdapat di pinggir pantai, sekelilingnya berhamburan bunga beragam warna yang sedang bermekeran, suasana lukisan itu saat matahari baru saja akan terbit. Di sudut kanan bawah terdapat kalimat My Dream Jeju Island.                                                                             
            Barang selanjutnya adalah kotak cincin berwarna hitam, sebuah cincin emas putih cantik berhiaskan berlian kecil. Di bawahnya terdpat foto berukuran 4R, fotonya sudah dibingkai cantik. Foto pernikahan ayah dan ibuku.
            Bertahun-tahun pikiranku dirasuki oleh kebohongan ayah yang berkata “Ibumu sudah meninggal dalam kecelakaan pesawat saat kau berusia 3 tahun, mayatnya hingga saat ini belum ditemukan, seluruh foto kenangan hangus terbakar di rumah kita yang dulu!”     Bingkai foto ayah dan ibu kupajang di meja belajar, cincin pernikahan ibu kuletakkan di sampingnya. Oh... aku teringat Adel sahabatku. Kuraih tas ransel membuka resnya dan mengambil handphone mencari namanya, lalu memencet tombol memanggil.
            “Halo!” Sapaku.
            “Sayang kau sudah sampai? Kenapa baru menghubungkiku. Kau tahu betapa cemasnya aku!” ucap Adel senang.
            “Ayahku, kau sudah bertemu dengannya?” aku sangat mengkhawatirkannya.
             “Apa? Bertemu, setelah kau melibatkanku dalam masalah besar, memasulkan tanda tangannya untuk surat persetujuan orang tua, bagaimana bisa aku menampakkan diri di hadapannya dan bertanya paman kau baik baik saja?” lanjutnya cepat.
            “Sayang sejak kapan kau sampai, sekarang kau ada di mana Incheon atau Seoul?” ocehnya lagi.
            “Sejak dua jam yang lalu, oh iya inikan telepon luar negeri pasti mahal, sudah ya!” aku menutup paksa telepon. Aku kembali mengeluarkan seluruh barang dari dalam tasku.         
             Berat, aku berusaha membuka mata yang sepertinya telah terpejam cukup lama. Saat aku terbangun kondisi tubuhku masih sama, memeluk erat album foto kenagan bersama Adel. Kubangunkan tubuhku dan melihat ke arah luar jendela. Pukul berapa ini langit sudah gelap. Bergegas aku bangkit dan menatap ke luar.
            Ada apa di atap gedung ini, kututup jendela kamar pelan. Tenggorokanku terasa haus, aku keluar untuk mencari minum di kulkas. Masih terngiang di otakku tentang atap gedung ini. Kuberanikan diri keluar rumah mencari tangga untu naik ke puncak.   
            Terdengar suara merdu, sepertinya ada seseorang yang sedang bernyanyi di atas sana. Langkah kakiku semakin kupercepat. Aku melihatnya, seorang pria sedang memetik  gitar dan menyanyikan sebuah  lagu melo. Suaranya, indah sekali. Pria itu duduk membelakangiku di atas bangku panjang dekat pagar pembatas. Sungguh, aku kagum, sangat kagum dengan suaranya. Mungkinkah dia seorang penyanyi terkenal. Aku menunduk dan tersenyum senang.
           
            “Kau... malam ini, anggap saja kau tidak pernah mendengar dan melihatku!” pria dengan suara emas itu, tiba-tiba saja berdiri di hadapanku.
            Tanganku menggaruk kepala, suraku gagap. Bingung bagaimana harus menjawabnya. Tanpa penjelasan lebih lanjut ia berjalan turun, menggandeng gitarnya. “Berpura-pura tidak terjadi apa-apa, mana mungkin, jelas-jelas aku sudah melihat dan mendengarnya. Pria Korea yang aneh!” keluhku.
₪         ₪         ₪
            Kupandang wajah dan seluruh tubuhku di depan cermin. Cermin itu berada di samping kiri meja belajarku. Kaca yang mampu memantulkan bayangan seluruh tubuhku. Aku memutar badan, menatap seragam musim panas yang kukenakan.
            Seragamnya lucu, atasan kain berwarna putih, kerah bergaris abu-abu hitam, berhias dasi  dan rok abu-abunya di bawah lutut. Ada namaku Alba di dada sebelah kanan. Kulingkarkan sebuah kalung di leher dengan cincin ibu sebagai liontinya. Kuraih tas ransel batik di atas tempat tidur dan menggendongnya di punggung. “Bismillahrirohmanirohim!” ucapku optimis.  
           Aku berjalan cepat keluar dari kamar, mendapati kak Luna sedang menikmati sarapannya. “Pagi!” sapaku. Aku ikut duduk di sampingnya, mengambil sepotong roti bakar dan mengolesinya dengan selesai strowbery.
             “Iya!” jawabannya sungguh singkat.
            Aku memakannya pelan.”Kak.. !” Panggilku.
            “Kau sudah melewatinya kemarin bukan, harusnya kau sudah mengingat jalannya. Maaf ya hari ini aku sangat sibuk!” ia bergegas bangkit, mengambil tas dan segera menuju pintu. “Sebelum kau pergi, tolong cuci piring dulu!” pesannya.
            Aku melahap cepat roti bakar dan sedikit memasang wajah masam. Begitu sulitkah mengantarku ke sana.
            Bermodal nekat, aku menyusuri jalanan sekitar flat, menalar kembali jalanan yang kami lewati kemarin. Berulang kali aku merasa melewati jalanan yang sama. Lelah, aku menghela nafas, menyabarkan hati.
            “Hooo!” di seberang jalan beraspal berukuran kecil seseorang yang kukenal berjalan berlawanan arah denganku. Tinggginya mungkin sekitar lebih dari 170 cm, kulitnya putih mulus, rambutnya hitam pendek, mata sipit. Kaos putih berkerah biru membalut tubuhnya dengan bawahan jeans biru tua. Ia juga menggendong sebuah tas ransel hitam kecil dipunggungnya.
            “Jeogiyo....!”[4] aku berlari mengejarnya. Ia berbelok, pada belokan yang belum pernah kukunjungi. Aku menahan tubuhnya dengan kedua tangnku, refleks ia menghindar dan menatapku heran.
            “Kau masih mengingatku? Aku yang semalam melihat pertunjukanmu!” jelasku.
            “Aku tidak ingat, pergilah!” ucapnya datar. Ia berjalan meninggalkanku.
            Tidak ingat, jelas-jelas semalam kami bertemu. Pria aneh itu menghilang saat tubuhnya berbelok ke arah kiri. Bergantian dua orang gadis yang berseragam sama denganku muncul dari belokan itu. Akhirnya kutemukan sekolahku. Aku mengikuti langkah mereka dari belakang. Ternyata tidak sulit menemukan sekolahku, hanya butuh waktu lima menit untuk sampai di gerbang.
            Sejenak aku terpana dengan gedung bertingkat, sekolah baruku. Berlantai empat dan cukup panjang. Aku berjalan begitu saja melintasi terotoar sekolah dari gerbang hingga pintu masuk.
             Ahhh, aku lupa menanyakan kantor kepala sekolah pada satpam. Kutatap setiap wajah siswa yang juga sedang menatapku. Niatku untuk bertanya pada mereka hilang begitu saja. Aku melanjutkan perjalanan, berharap ruang kepala sekolah itu ada di sekitar sini.
            “Teng..Teng...Teng!” Aduh bagaimana ini bel sekolah sudah berbunyi. Aku harus segera menemukannya. Ratusan siswa di sekitarku berhamburan masuk ke dalam kelasnya, lalu pada siapa aku harus bertanya.
           
           
            Seorang murid pria menarik perhatianku. Meski bel sudah berbunyi, ia masih asyik dengan bolanya di tengah lapangan. Aku berlari, dan berhenti saat jarak kami hanya sepuluh meter jauhnya.
            “Jeogiyo.. jeogiyo!” ia tidak mendengar. “Jeogiyo...jeogiyo!” Ia tetap tidak berbalik. “Jeogiyo....!” teriakku kencang. Ia menoleh dan menatapku tajam, aku sudah menganggu kesibukannya.
            “Mianheyo. Gyojang Seonsaengnimsiri odiyeyo?”[5] Tanyaku gugup.
            Ia menendang bola ke arah sembarang. Gol, tapi bukan ke gawang, berkat bola yang ditendangnya, kaca sebuah ruangan pecah. Ia mampu berjalan melewatiku tanpa rasa bersalah. Apakah karena aku membuatnya marah. Aduh bagaimana ini, apa yang harus kujelaskan pada mereka yang merasa dirugikan.
            Kedua tanganku gemetaran, tubuhku masih mematung di tempat yang sama. Orang-orang yang mendengar dan berada di sekitar pecahan kaca itu mulai memeriksa benda yang pecah. Pandangan mata mereka menghadap ke arahku.
            “Aw..!” Pergelangan tangan kiriku ditarik oleh seseorang. Pria yang tadi. Ia membawaku berlari bersembunyi di celah-celah gudang. Tempat sempit itu muat untuk kami berdua. Ia melepaskan genggaman tangannya. Aku menunduk tidak berani menatap wajahnya.
            “Mianhaeyo!” Singkatku. Ia tidak menjawab, tapi desisan suaranya terdengar seperti mengejek.
            Pria jangkung itu berhenti saat kami tiba di lantai dua. “Berjalan luruslah ke arah sana, kau akan segera menemukan ruang kepala sekolah!” Jelasnya. “Kamsahamnida!”[6] Ucapku sambil sedikt menunduk. Saat kuangkat wajahku, ia sudah beranjak pergi yang terlihatnya hanya punggungnya saja.
           Pria macam apa dia, tidak membantu hingga akhir. Ia melangkah menuju arah yang berlawanan denganku. Kulihat jam di telepon genggamku, oh tidak aku sudah terlambat sepuluh menit.  
            Kang Seonsaengnim, Staf Hasan dan Gyojang Seonsaengnim berbaik hati mengantarku hingga ke kelas. “III C” Aku membaca papan nama di depan pintu kelas. Kang Seonsangnim masuk dan menginterupsi penjelasan seorang guru wanita di dalam sana. Tak lama Kang Seonsaengnim mempersilahkan kami masuk.
            Gyojang Seonsaengnim menjelaskan siapa aku, dan untuk apa aku hadir di sini. “Annyeonghassiminikka, Alba imnida Indonesia wasseumnida, buthakamnida!”[7] gugup, aku memperkenalkan diri di depan kelas.
            “Ne Albassi, jeoneun  Nam Hyeori imnida, kau boleh duduk di bangku pojok dekat jendela sana!” Jelasnya. Nam Seonsaengnim menunjuk bangku yang ia maksud.  
            Staf Hasan menepuk sangat pelan pundakku dan berkata “Jaga dirimu baik-baik” Kepergiannya diikuti oleh Kang Seonsaengnim dan Gyojang Seonsaengnim.
            Kutatap puluhan siswa di hadapanku, sedikit terkejut, ada seseorang yang kukenal, pria tadi, duduk di bangku paling belakang tepat di samping barisan bangkuku. Ia hanya menatapku sekilas, tidak senyum, ekspresi wajahnya sangat biasa.
            Di pojok belakang berdampingan dengan bangku kosong. Dua bangku kosong yang menyatu dan aku memilih bangku dekat jendela.
            “Annyeonghaseyo Park Minyeongiyeyo!” Gadis yang duduk di hadapanku berbalik, mengulurkan tangan dan memperkenalkan namanya.
            “Naneun  Kim Hyunayeyo bangawoyo!”[8]ucapnya senang. “Ne Albayeyo nado bangawayo!” Aku menyalami telapak tangan yang mereka ulurkan padaku.
            Akhirnya, setelah duduk berjam-jam bel istirahat menggema di seluruh ruangan. Dua teman baruku Minyeong dan Hyuna memperkenalkan padaku tempat mereka makan siang, kantin sekolah. Kutatap puluhan orang sedang menikmati makan siang, pada meja yang telah disediakan. Beberapa juga sedang mengantri memebeli makan siang.
            “Kaja!”[9] Ajak Minyeong. Kupandangi setiap jenis makanan yang ditawarkan secara prasmanan. Koki sekolah yang bertugas membagikan makanan yang mereka pilih. Tak ada satu pun makanan yang pernah kumakan.
            Aku mundur dari barisan, dan beralih pada tempat lain. Tempat penjualan cemilan. “Ice cream!” intaku. Ahjumma[10] yang menjaga, memintaku memlih jenis eskrim.
            “Ttalgi juseyo!”[11] lanjutku. Kubawa semangkuk penuh eskrim rasa strowbery menuju meja makan, tempat Minyeong dan Hyuna duduk.
            “Mwoya ige[12], kau akan makan siang hanya dengan semangkuk es krim?tanyanya heran.
            Aku tersenyum kecil dan menjawab seadanya. “Ne[13], sarapanku pagi ini cukup berat,  perutku masih terasa kenyang!” bohongku.    

*          *           *
            Berada di negara salah satu pembuat komik, memberi kesempatan besar bagiku berburu komik yang dari dulu kuidamkan. Kuputuskan untuk berjalan kaki dari flat mencari toko komik terdekat.
            Naik bus dengan sistem pembayaran yang berbeda dari negaraku dan lagi aku belum tahu harus ke daerah mana menjadi pertimbanganku hingga menolak menggunakan alat transportasi umum itu. Dengan menggendong tas batik yang selalu kugunakan, aku siap menjelajah. Kedua kakiku berjalan santai  di atas terotoar jalan, memperhatikan setiap toko yang kulewati, apakah toko itu menjual komik atau tidak.
            Cukup jauh dari flatku, akhirnya kutemukan juga sebuah toko buku  pinggir jalan. Untuk beberapa saat aku terdiam hanya menatap beberapa orang yang sedang berbelanja di dalamnya.
            Aku teringat lagi akan kediktatoran ayahku. Seluruh komik dan lukisan karyaku harus dipajang di rumah orang lain, karena kebenciannya terhadap bakatku. Tapi ini bukan rumahku, tak ada ayah yang akan memarahiku.
            Semangat, aku masuk ke dalamnya dan langsung menghampiri tujuan utamaku. Beragam komik ditawarkan, membuatku kebingungan memilihnya. Cukup lama aku mempertimbangkannya, hingga akhirnya kuputuskan komik berseri yang dijual dalam satu paket menjadi pilihanku. Aku mengambilnya, ada 8 komik. Kedua kakiku berisap berjalan menuju tempat kasir.
            “Ya...!”[14] Seorang pemuda tiba-tiba merampas komik itu dari tanganku. “Mianhaeyo aggasin[15], aku sudah mengelilingi seluruh toko buku dan komik di Seoul. Komik limited edition ini hanya tersisa satu dan hanya ada di tempat ini!” jelasnya.
             “Geuraeseoyo?”[16] Aku merampasnya kembali dan segera melangkah menuju tempat tujuanku, kasir.
            “Ya.. agasin, komik itu milikku!” pria berkacamatata tanpa lensa itu menghalangi jalanku.
            “Menginginkan sesuatu yang sangat kau sukai belum tentu bisa jadi milikmu, tidak peduli seberapa keras usahamu untuk mendapatkannya!” kurampas lagi komik itu dan memandanginya tajam.
            “Agassin pramuniaga toko ini, sudah melihatku berulang kali mondar-mandir di tempat ini, hanya untuk komik ini!” pria ini sungguh keras kepala.
            “Baiklah kita tanya saja pramuniaga yang kau maksud, siapa yang berhak memiliki komik ini!” pria menyebalkan itu merampas kembali barang impianku itu dari tanganku.                                                                                                                                                        “Maaf, tuan pramuniaga menurutmu siapa yang berhak memiliki komik ini, aku yang sejak dulu mondar-mandir di toko ini, atau dia yang baru saja datang dan langsung mengambil komik edisi terbatas ini?” orang ini sangat serius.
            Pramuniaga itu terlihat bingung dan gugup. “Mianhamnida[17] kau memang sering mondar-mandir di tempat kami, tapi kau tidak pernah memesan untuk menyimpan komik ini jika sudah datang, jadi nona inilah yang berhak!” Jelasnya.
             “Mwo...?”[18] Sepertinya ia tak terima.
             “Gomawoyo!”[19] Aku mengambil kembali hakku dan segera membayarnya di kasir. Pria aneh itu tetap mengejarku hingga ke luar toko dan menghalangi jalanku.
            “Aggasin jebalyo[20], aku akan memberimu 50% ekstra dari harga sebenarnya!” Ucapnya semangat.
            “Shireoyo!”[21] Singkatku. Aku menabrak sedikit bahunya ketika akan melewatinya.
            “Arasseoyo[22], akan kubayar dua kali lipat!” Teriaknya.
            “Shireoyo!” Jawabanku tetap sama.
            Pria itu lagi-lagi menghadangku, ia memasang wajah kasihan.
            “Sekali lagi kau mengejarku, aku akan berteriak!” ancamku dengan pelototan mata.
             “Ne?” Ia sedikit terkejut. Aku berjalan cepat, berusaha menjauh darinya.                                      
            Perutku yang keroncongan memaksaku berhenti di depan sebuah rumah makan tradisional Korea. “Neo!”[23] Teriakku. Pria itu tetap mengikutiku, ia tiba-tiba muncul di sampingku. “Aku akan benar-benar berteriak!” ancamku lagi.
            Tidak memperdulikan adanya dia, aku tetap masuk. Rumah makannya lesehan, harus melepas sepatu. Aku memilih untuk duduk di dekat pintu. Melihat menu-menu yang disediakan.
            “Tolong mi dinginnya!” Pesanku. Mungkin rasanya akan berbeda dengan mie yang biasa kumakan, tapi setidaknya itu adalah mie, makanan yang sangat familiar denganku.
            “Agassin.. berapa pun kauminta akan kuberikan asal kau menjual komik itu padaku!” pria itu muncul lagi di hadapanku.
            “Tuan tolong lepas dulu sepatunya!” pinta pelayan restoran.
            Buru-buru pria itu berjalan ke depan pintu untuk melepas sepatunya, tak sengaja tangan kirinya menyenggol sebuah guci besar antik, yang menjadi penghias pintu masuk restoran.
           “Prakkkkk!” Guci itu terbelah menjadi beberapa bagian. Ia memecahkan guci. Ahjumma pemilik restoran, terkejut dengan melihat apa yang terjadi dari meja kasir tempatnya berdiam diri. Pria itu terlihat panik, ia pergi lagi menggunakan sepatu mengambil, tas milikku dan menarik lenganku, tak lupa ia juga mengambil sepatuku.
            Ahjumma berteriak memanggil kami. Kami berlari meninggalkan restoran dalam keadaan kacau.
             “Ya... kenapa kau juga melibatkanku dalam masalahmu?” Tanyaku kesal. Kami masih terus berlari.
            “Karena kita datang bersama!” Jelasnya santai.
            “Mwo? Kau yang mengikutiku!” Aku semakin kesal.
            Ahjumma dan beberapa pegawainya masih mengejar. Kami berlari melewati gang-gang sempit, jalan raya dan terotoar jalan. “Awww.....!” Keluhku.
            “Kenapa kau berhenti, mereka masih mengejar kita?” tanyanya kesal.
            “Ya... kau tidak lihat, sejak tadi aku berlari tidak menggunakan alas kaki apa pun!” Kurampas sepatuku dari tangannya.
            “Mianhaeyo!” Ucapnya.
            “Sudah sejauh ini, mungkin mereka sudah tak mengejar lagi!” tebakku. Aku memasang kembali sepatu kets bertali milikku. Kuambil tas ranselku dari gendongannya. Telapak kakiku terasa sakit, aku mencoba berjalan pelan, sedikit merangkak.
           “Agassin gwaenchanayo?”[24] tanyanya khawatir. Aku tidak menjawabnya. “Biar kugendong!” Tawarnya.
            “Tidak usah!” Kutepis tangannya yang memegangi pundakku. “Tapi kau terlihat tidak baik!” lanjutnya. Kutatap wajahnya. “Menjauhlah dariku!” pintaku kasar.
₪         ₪         ₪
            Oh tidak hampir terlamabat. Aku berlari secepat mungkin, melintasi jalanan yang kemarin kulewati. Di jalan yang sama, aku bertemu dengannya lagi, pria aneh bersuara merdu. Aku mendekatinya.
            “Kau sudah ingat padaku!” Aku menghalangi jalannya,  berharap senyuman manis darinya, dan berkata “Oh ya aku sudah ingat”. Ia memasang wajah malas di hadapanku. Tanpa sepatah kata apa pun dia meninggalkanku. Apa sesuatu terjadi pada kepalanya.                                             
            Dari balik kaca jendela kelas, tempatku duduk, kutatap Choi Minjung, pria kemarin yang tega mebiarkanku mencari ruang kepala sekolah seorang diri. Di tengah lapangan sana, ia sedang bermain bola dengan beberapa orang temannya, ia mendapat teriakan pujian dari puluhan siswa perempuan yang menonton pertandingannya. Kutatap hampir seluruh siswa perempuan dari kelasku juga ikut menyaksikannya, mereka saling meninindih untuk bisa melihatnya. Mereka berteriak senang, senang memanggil nama Choi Minjung. Apa yang hebat darinya, hanya wajahnya saja yang tampan.
            “Minggir!” Seseorang memintaku untuk pindah. “Ne?” Aku berbalik, berdiri dan menatap seorang pria dengan mata sipit, wajah kusut dan matanya memelototiku. Ia meraih tas ransel batik yang kuletakkan di atas meja dan membuangnya ke lantai.
             “Ya.. apa yang kau lakukan?” Segera kupungut tas kesayanganku itu. Ia duduk di bangkuku, meletakkan tasnya di atas meja.
            “Ya.. biasakah kau sedikit bersikap sopan?” aku kesal, sangat kesal. Ia tidak menjawab, pria sibuk menatap luar jendela. Aku maju selangkah, untuk menanyakannya lagi.
            “Alba... hajima!”[25] Park Minyeong menahan lenganku. “Bangku itu benar adalah tempatnya. Sudahlah kau tidak usah membahasanya lagi. Dia pria kasar yang pernah tinggal kelas!”
            Jelasnya. Kuhentakkan kaki di atas lantai, melampiaskan kekesalanku. “Alba kepala sekolah memanggilmu!” Seorang teman sekelas datang memeberi informasi.
                                                                                                                                                            Park Gyojang Seonsaengnim memanggilku untuk keperluan kegiatan di luar jam pelajaran. Menurut penjelasannya, setiap siswa di sekolah ini wajib memilih dua kegitan ekstra, tapi sayangnya aku hanya boleh memilih satu.
            Gyojang Seonsaengnim memintaku menjadi anggota Koran Sekolah, karena kegiatan ini kurang peminatnya. Sejujurnya aku ingin mengambil kelas lukis dan musik, namun terpaksa aku harus memilihnya. Malas, aku terus melangkah sembari mempertimbangkannya. ratusan orang.
            Aku mengetuk pintu ruang koran sekolah beberapa kali dan langsung masuk. Perasaanku tidak baik, semua orang sibuk dengan layar laptop dan tumpukan kertas yang sedang mereka susun. Tak ada yang menyadari kedatanganku.
            “Kau ini bagaimana, besok harus terbit, ulang lagi!” aku menoleh mendengar gertakan itu. Kutatap seorang pria tinggi kurus, rambut pirang, kulit mulus, dan seragamnya meski melanggar karena tidak masuk, dia tetap terlihat rapi. Orang itu melempar gulungan kertas ke atas meja. Seseorang yang menjadi lawan bicaranya hanya tunduk terdiam. Sikap sok pefectnya itu mampu membuatku menebak jika ia pimpinannya
            Sepeninggal pria yang baru saja di marahinya, ia membolak-balikan sebuah buku tebal yang sedang dipegangnya.  Aku berjalan dan berhenti di hadapannya. “Annyeonghaseyo Alba imnida, saya murid pindahan, ingin mendaftar sebagai anggota baru!” jelasku.
            “Alasan!” Ia bertanya tanpa beralih dari kesibukannya. “
            Ne?” mendengar pertanyaannya otakku menjadi bingung. 
            “Pergilah, datang lagi saat kau memiliki alasan yang tepat!” Perintahnya. “
            Apa ini aku dipermalukan, pantas saja kegiatan ini kurang peminat, pemimpinnya saja seperti itu, mana ada anggota yang betah bekerja sama dengannya.
₪         ₪         ₪
            Kepalaku serasa disirami air mendidih,  sudah begitu berat melangkah mengajukan diri pada sesuatu yang tak kuminati, bahkan sekarang aku harus punya alasan mengapa aku menyukainya. Aku mengunjungi kantin sekolah dan memesan eskrim rasa strowbery, lagi. Aku belum siap membiarkan lidahku merasakan makanan yang baru saja kukenal. Kupilih meja bagian pojok, jauh dan jarang terlihat. Kuaduk eskrim, mengambil sesendok penuh, lalu memasukannya ke dalam mulut.
            “Agassin.....!” pria aneh yang mengejarku kemarin muncul lagi di hadapanku.
            “Neo... kau mengikutiku hingga kemari?” emosiku semakin naik.
            “Agassin, apa kau tidak melihat persamaanku dengan yang lain?” aku menatapnya lekat. Ia memakai seragam yang sama dengan siswa pria lainnya, itu artinya dia teman sekolahku. Aku menggaruk kepalaku cepat.
            “Kakimu bagaimana?” tanyanya khawatir. Aku tidak menjawab dan terus saja melahap eskrimku.
            “Benarkah tidak apa-apa?” tanyanya lanjut. Kutatap matanya dengan tatapan melotot. “Agassin waeyo[26] aku benar-benar mengkhawatirkanmu!” Ia merengek seperti anak kecil.
            “Oppa... oppa..oppa[27]!” Mataku memandang sekitar mencari sipemilik suara berisiki itu. Beberapa gadis centil sedang berteriak-berteriak memanggil seseorang di meja bagian tengah, mereka begitu heboh, cukup histeris dan sangat menganggu. Choi Minjung, mereka sedang memuja-muja Choi Minjung yang duduk di sana bersama teman-temannya. Beragam makanan dan bungkusan kado berada di atas meja Choi Minjung, yang diberi hadiah tersenyum sumringah. Apa hebatnya pria itu.
            “Agassin....!” pria menjengkelkan itu berteriak lagi. Dia benar-benar menghilangkan nafsu makanku. Aku bangkit dan segera berniat meninggalkannya. “Agassin...!” Sungguh aku muak mendengarnya memanggilku seperti itu. Aku berbalik dan menatap wajahnya kesal.
            “Mwoya... sekali lagi kau berteriak memanggilku, aku akan mengungumkannya bahwa kau sudah berbuat tak senonoh padaku!” Aku benar-benar meninggalkannya.
            Kurapikan seragamku yang sedikit kusut, berjalan pelan melintasi koridor sekolah lantai tiga, berencana hanya ingin berjalan-jalan saja, tapi di sudut lorong ini, aku melihat ke dalam sebuah ruangan yang mampu mengurungkan niatku, ruangan ini adalah tempat bagi orang-orang yang ingin mengembangkan bakat melukisnyaAku berdiri mematung di depan pintu, menatap senang keseriusan mereka.
             “Apa kau berencana hanya melihat kami selama jam pelajaran?” seseorang mungkin sedang berbicara padaku. Aku berbalik mencari, mungkin ada orang yang tengah berdiri di sekitarku, namun sayang hanya ada aku.
             “Masuk dan mulailah melukis!” aku mencari-cari sumber suara itu. Aku masih betah berdiri. “Kau tak ingin masuk?” pemilik suara yang sama memanggilku.
           
            Aku melangkah masuk, mencari kanvas yang masih kosong juga suara orang tadi. “Duduklah di sini!” orang itu tiba-tiba berada di belakangku dan mempersilahkanku duduk. Ia memeberiku pensil, celemek dan beberapa cat berwarna serta kuasnya. Aku duduk dan menatap kanvas putih. Apa yang harus kugambar. Tersirat sesuatu hal yang kusukai di benakku. Menggunakan pensil, aku mulai menyentuh lembut kanvas itu. Tanganku bergerak, mulai menggambar.
₪         ₪         ₪
            Lagi, aku berlari menuju gerbang sekolah secepat mungkin. Aku terlambat, sangat terlambat. Aku mengintip dari balik tiang listrik menatap beberapa rekanku yang tidak datang tepat waktu mendapat hukuman dari Kang Seongeun Seonsaengnim. Jika aku ketahuan terlambat, akan ada citra buruk yang melekat padaku meski ini untuk pertama kalinya.
             Otakku berfikir. Kulihat dinding besar pembatas sekolah dengan dunia luar. Mengendap, aku berjalan ke arahnya. Ternyata aku tak sendirian. Pria kemarin yang menyatakan diri bahwa aku merebut bangkunya punya pikiran yang sama denganku. Memanjat tembok. Ia membuang tasnya melintasi puncak dinding, dan bersiap memanjat.
            “Bisakah kau membantuku naik ke atas. Kumohon!” kulipat kedua tanganku, kuletakkan di bawah dagu dan menatapnya penuh harap. Ia terlihat sedikit terkejut melihatku berada di bawah dan mengagetkannya
            .“Aku minta maaf mengenai hal yang terjadi kemarin. Kumohon kau harus membantuku!” lanjutku memelas. Awalnya ia menatapku tajam, namun perlahan pandangannya menjadi teduh. Meski diam, ia turun lagi.
            Aku membuang ranselku masuk ke dalam pekarangan sekolah dan ia memegangi pantatku lalu mendorongnya hingga mampu duduk di puncak. Kuulurkan lengan kananku padanya, tak ditepis tapi ia tak ingin melihatnya. Pria itu berusaha sendiri. Sesampainya di atas, ia langsung loncat, memungut tasnya, lalu berjalan meninggalkanku.
            “Ya... jangan pergi, kau harus membantuku turun!”  teriakku kesal. Ia beralik, memperbaiki posisi tasnya di punggung.
            “Kau hanya minta bantuan sampai ke atas, tidak dengan turunnya bukan!” ia mengkonfirmasi kalimatku. Kejam sekali dia, tega meninggalkanku. Terpaksa aku loncat dengan resiko pantat sakit.




[1] Saya Hasan Wirayuda, datang dari Indonesia, senang bertemu Anda
[2] Ya saya Kang Songeun, saya juga senang bertemu dengan Anda
[3] Guru/Dokter/Panggilan untuk orang yang sangat dihoramti(yang dianggap seperti guru)
[4] Permisi
[5] Maaf ruang kepala sekolah di mana ya?
[6] Terima Kasih
[7] Halo saya Alba dari Indonesia, mohon kerja samanya
[8] Senang bertemu kamu(informal)
[9] Ayo
[10] Bibi(bukan keluarga)
[11] Tolong yang rasa stroberi
[12] Apa ini?
[13] Ya
[14] Hey
[15] Maaf Nona
[16] Lalu?
[17] Maaf (Formal)
[18] Apa
[19] Terima Kasih
[20] Nona kumohon
[21] Tidak Mau
[22] Aku mengerti
[23] Kau
[24] Nona kau tidak apa-apa?
[25] Jangan
[26] Nona kenapa?
[27] Kakak (perempuan untuk laki-laki) 

Cerita di atas hanya merupakan bagian dari bab 1 saja, jika pembaca ingin membaca lanjutan ceritanya please coment or follow my twitter @bummielady

Terima Kasih